KUTIPAN: HATTA DAN PAPUA DI DALAM RAPAT BPUPKI

"... Dahulu saya sudah mengatakan bahwa pendapat saya tentang Malaka; bagi saya, saya lebih suka melihat Malaka menjadi negara yang merdeka sendiri dalam lingkungan Asia Timur Raya. Akan tetapi kalau sekiranya rakyat Malaka sendiri ingin bersatu dengan kita, saya tidak melarang hal itu. Hanya tentang Papua saya dengar kemarin uraian-uraian yang agak menguatirkan, oleh karena dapat timbul kesan keluar, bahwa kita seolah-olah muai dengan tuntutan yang agak imperialistis. Kemarin saya dengar teori bahwa Malaka dan Papua diminta supaya masuk tanah air Indonesia berdasarkan strategi. ... Jadi, jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi Salomon masih juga kita minta dan begitu seturusnya sampai ke tengah Lautan Pasifik.... Oleh karena itu, bagi saya, batas negara bukanlah suatu sial yang dapat ditetapkan secara exact, tetapi hanyalah soal opportunisme dengan doelmatigheid, yakni tujuan yang tepat. Tujuan kita yang tepat itu, ialah lingkungan Indonesia yang dahulu dijajah oleh Pemerintah Belanda. Itulah yang tepat, pun berhubungan dengan politik internasional. .... Selain daripada itu, kita harus hati-hati memakai teori-teori seperti yang dikemukakan oleh Mr. Muh. Yamin kemarin tentang tumpah darah, yang disebutkan dalam bahasa Jerman Kultur und Boden. Itu berbahaya sekali, karena akibat dasar imprealisme yang dimajukan oleh Jerman itu dapat kita liat, ialah bahwa perasaan tidak puas meluap keluar dan mau menjajah Oostenrijk dan Ceko-Slowakia. Akibatnya Jerman mengalami akibat daripada nafsu tadi.... Papua, seperti dikatakan kemarin oleh Mr. Muh. Yamin, menurut penyelidikan akhir tentang ethnologie adalah sebangsa dengan bangsa Indonesia.... Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia. Maka jangan pula kita lupa, bahwa bangsa kita di sebelah timur banyak bercampur dengan bangsa Melanesia.... Jadi, janganlah tanah Papua kita dasarkan pada keadaan yang kita dapat di timur, yaitu campuran antara bangsa Indonesia dengan bangsa Melanesia. Mungkin, kalau kita mencari persatuan asal, kita tidak melihat Melanesia, tetapi Polinesia, yang lebih jauh letaknya, di tengah-tengah kepulauan Pasifik. Maka saya katakan di sini, bahwa baiklah kita mengambil pendirian yang doelmatig saja dahulu... dan apa yang akan dimerdekakan ialah apa yang disebut To Indo, yaitu Indonesia dahulu yang dijajah oleh Pemerintah Belanda dengan sebagian Papua. Saya sendiri ingin menyatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Saya mengakui bahwa bangsa Papua juga berhak untuk menjadi bangsa yang merdeka, akan tetapi bangsa Indonesia buat sementara waktu, yaitu dalam beberapa puluh tahun, belum sanggup, belum mempunyai tenaga cukup, untuk mendidik bangsa Papua sehingga menjadi bangsa yang merdeka. Kemarin dikemukakan pula, saya hendak berhati-hati, oleh saudara Abd. Kaffar tentang darah yang dikurbankan; saya kira para prajurit Nippon juga banyak mengurbankan darahnya untuk mengusir imperialisme Barat dari Papua, Salomon, dan daerah-daerah lain. Janganlah kita memikirkan kita sendiri saja, akan tetapi berikanlah hak kepada Nippon untuk menentukan bagaimana status daerah yang bukan tuntutan kita dulu. Saya dasarkan batas Indonesia kepada tuntutan kita dulu. Tuntutan kita dulu tidak lebih daripada Indonesia atau daripada Hindia Belanda dulu, malahan dari dulu, ketika duduk dalam Perhimpunan Indonesia, saya sendiri mau mengurangi daerah itu. Bagian Papua saya serahkan kepada orang lain. Akan tetapi kalau Pemerintah Nippon memberikan Papua yang dulu di bawah Pemerintah Belanda kepada Indonesia, saya tidak berkeberatan, hanya saya tidak menuntutnya dan kalau sekiranya bagian Papua itu ditukar-tukar dengan Borneo Utara, saya tidak berkeberatan, malah bersyukur, karena, seperti saya katakan dahulu, saya tidak minta lebih daripada tanah air Indonesia yang dulu dijajah oleh Belanda, tetapi kalau ditukar memang merupakan satu kebulatan... Marilah kita menentukan dasar tanah air kira menurut garis internasional yang tetap yaitu Hindia Belanda dulu. Bagi saya sendiri tidak ada keberatan, kalau tanah Papua diberikan kepada kita.... Seolah-olah kita sebelum merdeka, sudah menganjurkan politik imprealisme: mau ini, mau itu.... Tetapi saya kemukakan di sini janganlah kita mengeluarkan alasan-alasan yang agak menyerupai semangat imperialistis. Biarlah kita hidup dalam daerah lingkungan kita sendiri. Seumur hidup kita menentang imperialisme, jangan kita memberikan kepada pemuda kita anjuran atau semangat imperialisme, semangat 'meluap keluar'. Marilah kita mendidik pemuda kita, supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke dalam, yang memang masih banyak harus diperkuat dan disempurnakan. Sekianlah Tuan Ketua keterangan saya tentang batas Indonesia. 

Sumber:
Sekretariat Negara RI. 1995. "Risalah Sidang BPUPKI-PPKI: 28 Mei 1945-22 Agustus 1945". hal.147-149


Beberapa poin yang saya tangkap dari pernyataan Hatta tersebut:

  1. Hatta dengan tegas mengatakan wilayah negara Indonesia merdeka adalah wilayah Hindia Belanda dulu. Jika ada wilayah lain yang ingin bergabung diperbolehkan asal dengan kesadaran dan kemauan rakyat wilayah tersebut. Hatta juga tidak memaksakan wilayah Indonesia itu harus meliputi Papua. Jika Papua bergabung ke wilayah Indonesia yang merdeka pun, Hatta tidak menentangnya. Ditukarkan wilayah tersebut dengan wilayah lain pun tidak masalah. 
  2. Hatta menentang dalih-dalih strategi politik sebagai argumentasi penyatuan Papua ke Indonesia yang merdeka. Ia anggap itu sebagai nafsu imperialisme.
  3. Hatta juga menentang dalih-dalih etnologis sebagai argumentasi penyatuan Papua ke Indonesia. Secara tegas, Hatta mengatakan bahwa bangsa Melanesia berbeda dengan bangsa Indonesia. 
  4. Hatta sadar bahwa bangsa Papua memiliki hak untuk menjadi bangsa yang merdeka. Akan tetapi, pada saat itu sampai kurun waktu yang tidak diketahui, hal tersebut belum bisa diwujudkan. Sampai saat itu tiba, bangsa Indonesia mempunyai kewajiban untuk mendidik bangsa Papua. 

Apakah Hatta tidak nasionalis? Tentu saja itu tidak benar. Perspektif Hatta ini seharusnya bisa memperkaya alternatif solusi pemecahan masalah Papua.

Pandangan Pribadi

Bukan berarti saya setuju dengan gerakan separatisme dan kekerasan yang dilakukan oleh OPM di Papua. Akan tetapi, kita perlu mendengarkan aspirasi mereka melalui dialog. Sikap saya, wilayah NKRI sudah final. Saya pikir agak mustahil opsi pemberian refrendum secara damai untuk Papua karena kebijakan itu tidak populis bagi elit di Jakarta. Taruhannya sangat besar, tidak mungkin pemerintah yang berkuasa mau kehilangan kuasa pada pemilu berikutnya (saya salut dengan BJ Habibie pada saat memberikan opsi refrendum kepada Timor Timur).  Paling penting lagi adalah masyarakat Indonesia belum siap menerima itu. Upaya pemisahan wilayah Papua dari Indonesia saya khawatirkan akan memicu penderitaan yang lebih dalam bagi masyarakat Papua. Contohnya kita bisa lihat apa yang terjadi di Timor Timur pasca refrendum di mana kelompok milisi yang "kemungkinan besar" didukung militer Indonesia berbuat kekacauan di sana. Pertumpahan darah pastinya tidak terelakan. Tentu hal ini juga akan memperburuk citra Indonesia. 

Menurut saya, pemerintah pusat perlu mendengar aspirasi rakyat Papua, termasuk kelompok separatis dan berupaya mengakomodir aspirasi tersebut. Posisi saya dalam masalah Papua cenderung mendukung pemberian hak otonomi seluas-luasnya kepada rakyat Papua. Kebijakan Gus Dur dahulu yang mengizinkan rakyat Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora saya pikir sudah sangat bijak. Intinya jangan sampai ada kekerasan bahkan kematian yang tidak perlu akibat upaya mengekspresikan pendapat yang damai. Otonomi seluas-luasnya dalam artian memperkuat otonomi khusus yang sudah ada saat ini. Misalnya membekukan kebijakan transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah di Papua (kecuali migrasi swadaya yang dilakukan masyarakat, tapi juga bisa sih membatasi arus migrasi masuk seperti di HK), pembagian porsi pendapatan dari kekayaan alam dan pajak yang lebih besar kepada Papua, dan pendirian partai politik lokal. Bahkan, memberikan kewenangan untuk menjalin hubungan luar negeri terbatas kepada pemerintah daerah Papua dalam lingkup kawasan Melanesia dan Pasifik. Contohnya: pemerintah Papua dapat masuk organisasi regional, katakan MSG, dengan syarat memakai nama "Papua, Indonesia" (mirip dengan HK dan Macau). Selain itu, Papua bisa memiliki tim olahraga sendiri yang bisa berlaga di pertandingan internasional dengan syarat yang sama. Pemerintah daerah Papua juga  bisa mendirikan kantor perwakilan dagang/budaya di negara kawasan Melanesia dan Pasifik.

Kemudian, otonomi khusus tersebut hanya diberikan kepada "pemerintahan regional Papua". Maksudnya Papua bisa terbagi-bagi ke dalam beberapa provinsi, namun hanya ada satu pemerintah regional Papua (acuan pasal 18b ayat 1 UUD 1945). Akan tetapi, provinsi-provinsi tersebut tidak mendapatkan hak otonomi khusus seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Jika UUD 1945 tidak direvisi, ada implikasi lain berarti yang berhak mengirim anggota DPD adalah tingkat provinsi. Jadi jumlah anggota DPD yang mewakili Papua nantinya "X" x 4 ("X" adalah jumlah provinsi yang ada di Papua).  Pembagian wewenang antara pemerintah regional dan provinsi akan ditentukan, mungkin pemerintah provinsi akan menjalankan tugas misalnya terkait pendidikan dasar dan menengah, pelayanan kesehatan, dll. Nantinya mungkin kabupaten dan kota hanya bersifat administratif saja, tanpa hak otonomi. Di tingkat regional ini, seharusnya hanya ada satu MRP sebagai representasi adat di Papua. Kewenangan MRP mungkin mirip dengan yang ada saat ini, tapi perlu penyesuaian. Implikasi dari otonomi khusus diberikan di tingkat regional, seharusnya nanti ada "parlemen tingkat regional" dan "pemimpin tingkat regional". Tata cara pemilihannya tergantung konsensus nanti. Bisa jadi parlemen tingkat regional merupakan utusan yang dipilih oleh DPRD tingkat provinsi-provinsi di bawahnya. Lalu, pemimpin regional adalah salah satu gubernur dari provinsi-provinsi di Papua yang dipilih melalui pemungutan suara dalam pertemuan antar gubernur. Atau bisa jadi parlemen dan pemimpin tingkat regional dipilih langsung oleh rakyat Papua. Pemerintah pusat bisa juga mengirim seorang "wakil" yang berwenang memunda berlakunya peraturan yang dikeluarkan oleh parlemen tingkat regional dan mengajukan proses judicial review terhadap peraturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi apakah bertentangan dengan UUD/UU Otonomi Khusus atau tidak. Hal lain, mungkin pergerakan militer anorganik di Papua harus dengan persetujuan dengan parlemen tingkat regional, kecuali mungkin pasukan penjaga perbatasan (dengan catatan semua anggota separatis yang aktif saat ini harus menyerahkan senjatanya untuk dimusnahkan). Kebijakan moneter dan penegakan hukum/peradilan mutlak urusan pemerintah pusat (termasuk KPK).

Intinya pemerintah pusat harus melakukan apapun untuk menghindari kekerasan dan pertumpahan darah di Papua.  

Komentar

Postingan Populer