KUTIPAN: PRAM DAN SULTAN AGUNG
Jika baca buku "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels" karya Pram, Pram berusaha memaparkan sisi kelam dari penguasa Mataram, yakni Sultan Agung. Setidaknya, ada dua lokasi di mana Pram menceritakan sisi kelam tersebut, yakni di Priangan dan Surabaya. Beberapa hal yang dikritik oleh Pram:
1) Adanya akulturasi paksa kebudayaan Jawa
2) Perendahan martabat penguasa lokal
3) Penghancuran peradaban dan perekonomian.
1) Adanya akulturasi paksa kebudayaan Jawa
2) Perendahan martabat penguasa lokal
3) Penghancuran peradaban dan perekonomian.
Berikut beberapa kutipan penting:
[PRIANGAN]
"Dalam ofensif kedua terhadap Batavia, 1629, balatentara Mataram tidak mengulangi kekeliruannya dengan melakukan serbuan melalui laut. Pada tahun ini mereka mengambil jalan darat, pesisir utara Jawa dan pegunungan Priangan. Sebelum dapat mencapai Batavia, mereka harus taklukkan dahulu para penguasa Priangan. Dan itu mereka lakukan tanpa hambatan karena Priangan memang tidak suka kekerasan. Ofensif kedua memang gagal juga. Tetapi justru para bupati Sunda harus membayar mahal pada Mataram, dengan perasaannya, dengan kehormatannya. Putera-putera mereka disandera ke Mataram, di-Jawa-kan. Tanpa lulus dalam bahasa dan sastra Jawa, Islam Mataram, seni gamelan dan tari, pewayangan dan perbendaharaannya, mereka takkan dapat kembali ke tempat kelahiran mereka. Dan para bupatinya sendiri? Raja-raja setempat Priangan? Setiap tahun mereka harus datang ke Mataram, khusus mencabut rumput alun-alun bagian utara Mataram sampai gundul."
Hal.59
Hal.59
[SURABAYA]
"Dalam satu kurun, Surabaya juga menjadi pusat perdagangan rempah-rempah internasional. Sebagai negara merdeka dengan perdagangan berkembang, Surabaya menjadi kota bandar dibentengi tembok batu seperti kota-kota penting di daratan Asia lainnya. Bentengan tembok kota tidak dimaksudkan untuk pertahanan terhadap serangan dari laut, tapi justru dari pedalaman. [...] Kemunduran itu kemudian diakhiri oleh pukulan kematian dari pedalaman. Seorang raja pedalaman yang terbelakang, yang hanya tahu berkuasa, kelak terkenal dengan gelarnya, Sultan Agung, menyerang negara bandar Surabaya yang sedang memudar itu dengan tentara darat sebesar 90.000 orang. Penduduk Surabaya sendiri waktu itu sedikit lebih banyak dari jumlah tentara yang menyerbu. Pada 1625 itu Surabaya ditaklukkan oleh Mataram. Hanya saja tidak melalui perang. Mataram tidak bisa mengembosi perbentengan kota. Sungai yang menjadi alur pelayaran dari pedalaman ke kota diracuni dengan berbagai bangkai. Surabaya dilanda wabah. Penduduknya yang puluhan ribu tinggal hanya sekitar 1.000. Ini adalah ironi dalam sejarah Nusantara, [...] di Nusantara pada 1625 negara kota termaju di Nusantara dihancurkan oleh raja pedalaman yang terbelakang. [...] Dalam kekuasaan Mataram yang nisbiah terbelakang, kemerosotannya semakin melaju, dan akhirnya menjadi kota bandar setengah hidup setengah mati."
Hal. 109-110
Hal. 109-110
Komentar
Posting Komentar