KUTIPAN: PEMERSATU YANG AMPUH

"Boedi Oetomo sebagai organisasi bangsa-tunggal berhasil dalam tahun pertama dari hidupnya. Berhasil dalam tahun pertama dari hidupnya. Berhasil memencilkan diri dari bangsa-bangsa terperintah Hindia selebihnya. Bila organisasi didirikan dengan unsur agama, ... ada banyak agama di antara bangsa-bangsa terperintah Hindia. Ada yang tidak beragama, menganut kepercayaan nenek-moyang. Mana sebenernya unsur pemersatu yang ampuh?"

...

Sebuah peristiwa besar telah terjadi. Di Surabaya. Siapa sangka suatu peristiwa kecil berkembang jadi besar, hanya karena satu prinsip!

Seorang pedagang Tionghoa datang pada perusahaan dagang besar Eropa untuk membeli barang dagangan. Salah faham terjadi. Pedagang Tionghoa dihinakan dan diusir. Orang lupa, sejak berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan pada 1900 telah tumbuh suatu kekuatan dahsyat di kalangan penduduk Tionghoa. Mereka mendapat kemajuan luarbiasa di bidang perdagangan, meninggalkan Pribumi dan golongan Arab serta Timur Asing lainnya-dalam segala bidang. Persatuan dan kesetiakawanan antara mereka membikin mereka semakin pekat juga semakin terasing dari bangsa-bangsa terperintah lainnya.

Hanya dalam beberapa minggu dan suatu yang mengagumkan terjadi. Semua pedagang Tionghoa di Surabaya-kemudian juga menjalar ke kota-kota lain-menolak mengambil barang dagangan dari perusahaan-perusahaan dagang besar Eropa. Dalam beberapa bulan perusahaan yang belakangan itu gulung tikar. Tiga buah perusahaan besar Eropa lainnya menyusul gulung tikar. Kebangkrutan diikuti oleh kegoncangan dalam dunia perbankan. Dunia perdagangan kalang-kabut. Pengaruhnya terasa sampai lorong-lorong desa. Apalagi di kota-kota.

"Boycott, Tuan", kata Frischboten. Kemudia ia terangkan tentang ajaran Kapten Boycott. Bukan golongan kuat saja yang punya kekuatan, juga golongan lemah, asal berorganisasi. "Dan hanya dengan organisasi, Tuan, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya. Boycott, Tuan, perwujudan kekuatan dari golongan lemah."

Keterangannya panas. Membakar. Seakan semua dapat dicapai hanya dengan mengorganisasi golongan lemah. Sederhana nian. Rasa-rasanya aku juga bisa melakukan, besok, lusa, sekarang juga.

"Yang terpenting di dalamnya hanya satu: unity of mind," tambah Frischboten. Dan ia tidak mengajukan syarat-syarat lain. Ia tidak bicara tentang agama, keterpelajaran, apalagi jabatan. Hanya kesatuan sikap, keseiasekataan golongan lemah. Dan golongan lemah mempunyai banyak kepentingan bersama justru karena kelemahannya, yang dapat mempersatukan.

...

Gerakan orang Tionghoa ini perlu dipelajari, hubungan dicari. Mereka juga guru, pengalamannya patut ditimba. Bukan hanya dipelajari: kekuatannya dibiakkan pada semua bangsa terperintah Hindia.  ... Aku kira, jangankan hanya perusahaan-perusahaan besar Belanda, Gubermen pun bisa dihadapi dengan senjata baru kaum lemah ini. Kaum Samin juga telah memulai. Satu sen pun Gubermen tak pernah dapat uang dari mereka. Gerakan pembangkangan fanatik, sudah bikin Gubermen tak bisa bikin apa-apa. Semua bangsa terperintah Hindia bersatu, pemboycottan total terhadap Gubermen, apa Belanda takkan gulung tikar, angkat kaki?

....

...Legiun Mangkunegaran telah diangkut dengan keretaapi ke Surabaya. Tujuan: Bali dan Lombok. Mereka menolak naik berlayar. Belanda gagal memberangkatkan mereka untuk memerangi saudara-saudaranya sendiri. ....

...Sepucuk surat menyatakan:
"Kami tahu, Tuan Redaktur yang terhormat, di Bali ada lebih banyak perempuan daripada lelaki. Lelaki dimanjakan di Bali untuk setiap waktu dapat tampil sebagai pahlawan di medan-perang untuk tidak kembali lagi pada anak dan bini atau kekasihnya. Seperti ayam aduan Bali juga. Tidak urung wanita juga siap sedia mati tertembusi peluru. Karena, Tuan Redaktur yang terhormat, apabila meriam dan senapan Kompeni sudah mulai berletusan, para danyang pun pada mengungsi. Iblis sendiri tak dapat saingi Kompeni. Meriamnya menggentarkan setiap jantung, termasuk jantung Hanuman.

"Aku sendiri, Tuan Redaktur yang terhormat, mempunyai tiga orang anak perempuan. Kalau kami harus melawan saudara-saudara kami sendiri, apalagi perempuan-perempuan Bali, itu sama saja dengan berperang melawan anak-anak sendiri sebab anak-anak perempuan ini sama saja impiannya tentang hidup, baik di Bali ataupun Jawa? Mereka akan melawan kami, sama saja gigihnya dengan pria suami atau kekasih atau ayahnya.

Kalau pun berperang dengan mereka, bisa pulang kembali pada anak-anakku, bagaimanakah aku berani bercerita? Untuk mendapatkan permulaan cerita pun akan terlalu susah. Maka kami menolak untuk dinaikkan ke kapal, apalgi diturunkan ke medan-perang Bali dan Lombok sebagai aduan.

Kami siap menerima hukuman. Kami menolak berangkat. Tetap di Surabaya atau pulang ke Sala."

Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, hal 395-399

Komentar

Postingan Populer