KUTIPAN: SEMBILU
Rama: "Musuh sudah aku kalahkan. Aku berhasil merebutmu kembalii. Tugasku sebagai kesatria telah tunai. Sumpahku sudah terpenuhi. Perang yang getir ini kujalani tidak hanya demimu tapi tanggung jawabku sebagai kesatria. Mendapatkanmu kembali ternyata tidak membuatku bahagia. Keraguan menyaput hatiku seperti asap yang gelap pekat."
Sinta: "Sekarang, apa yang kau inginkan?"
Rama: "Kau harus hidup sendirian. Kita tidak bisa hidup bersama lagi. Kau boleh hidup dalam lindungan para kerabat atau sahabat kita. Mana mungkin seorang kesatria menerima kembali istri yang telah tinggal lama di rumah orang asing?"
Sinta: "Kata-katamu sungguh tidak pantas! Telingaku sudah mendengar dan sekarang hatiku seperti dicabik sembilu. Manusia tak beradab boleh saja berbicara seperti itu. Tapi, kau yang dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga yang mulia tak pantas bicara seperti itu. Sepertinya amarah mengacaukan pikiran jernihmu. Suamiku lupa pada asal-usulku, keluargaku. Janaka, sang peramal agung, adalah ayahku. Dialah yang membesarkanku. Apakah aku salah jika raksasa jahat itu menculik dan menawanku? Tapi, karena caaramu melihat masalah ini sepicik itu, aku tidak punya pilihan lain. Lesmana, ambillah kayu bakar dan buatlah api unggun yang besar. Wahai Dewata yang Agung, aku bersujud di hadapanmu. Oh, para resi, aku bersujud di hadapanmu. Oh, Batara Agni, sekurang-kurangnya kau tahu kemurnian hatiku. Terimalah aku ke dalam pangkuanmu!"
C. Rajagopalachari, Kita Ramayana: Kisah Agung Sepanjang Masa, 389-390
Komentar
Posting Komentar